Prospek AISA Setelah Diakuisisi FKS Group

Pada ulasan sebelumnya, kita sudah membahas bagaimana PT Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk (AISA) hampir saja bangkrut karena ulah dari pemilik lamanya, dimana perusahaan kemudian harus membukukan defisiensi modal hingga Rp3.3 trilyun pada akhir tahun 2017. Namun setelah diambil alih oleh manajemen yang baru dan dilakukan perombakan besar-besaran, AISA ternyata mampu bertahan, termasuk sukses merestrukturisasi utang-utangnya, sehingga BEI kemudian mencabut suspensi sahamnya. Meski demikian, per Kuartal I 2020, AISA masih mencatat ekuitas negatif Rp1.3 trilyun, sehingga secara laporan keuangan, sahamnya masih worthless. Nah, jadi bagaimana rekomendasinya? Apakah buy? Atau kalau saya sudah pegang sejak tahun 2018 lalu, maka sell saja?

***

Bagi anda yang baru belajar investasi saham/value investing, maka bisa peroleh video seminar terbaru disini. Info whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti).

Buat yang ingin bergabung dengan layanan konsultasi saham, analisa pasar, dan rekomendasi saham bulanan (edisi September sudah terbit), maka bisa baca infonya disini, tersedia diskon khusus selama IHSG masih dibawah 5,500.

***

Catatan: Artikel ini merupakan kelanjutan dari artikel kemarin. Sehingga agar ceritanya nyambung, sebaiknya anda baca dulu artikel kemarin tersebut, di link berikut.

Jadi ceritanya, pasca proses yang panjang dari perubahan kepengurusan, serta rentetan restrukturisasi utang, maka pada hari ini, AISA masih bergerak di bidang produksi dan pemasaran mi kering (merk ‘Ayam 2 Telor’), bihun, snack mi instan (merk ‘Mie Kremezz’), stik wafer, snack merk ‘Taro’, biskuit, dan permen merk ‘Gulas’. Penulis sengaja menyebut merk-merk produk yang dimiliki perusahaan, karena sebagian besar diantaranya sudah cukup populer di mata masyarakat. However, untuk usaha beras, perkebunan kelapa sawit dll, yang dimiliki AISA pada atau sebelum tahun 2017 lalu, maka itu semua tidak lagi dimiliki perusahaan, dan total aset AISA sekarang menyusut menjadi hanya Rp2.2 trilyun per Kuartal I 2020, dari puncaknya yang sempat hampir mencapai Rp10 trilyun pada pertengahan tahun 2017 lalu. Untuk pendapatan AISA juga tinggal Rp1.5 trilyun sepanjang tahun 2019 lalu, dari sebelumnya Rp6.5 trilyun di tahun 2016.

Produk-produk PT Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk, saat ini


Dan kalau kita lihat lagi lini usaha yang masih dipegang perusahaan, maka kita bisa katakan bahwa AISA kembali fokus sebagai perusahaan consumer goods, yang cukup prospektif untuk long term, termasuk usaha jualan mi kering dll secara operasional juga tidak terganggu oleh pandemi Corona. Meski demikian, kemungkinan karena manajemen dalam dua tahunan terakhir lebih fokus ke penyehatan perusahaan, maka dari usaha yang masih dipegang ini, AISA juga tetap merugi (dari sisi hukum kepailitan, it’s okay jika perusahaan rugi, yang penting gaji karyawan, supplier, cicilan utang dst tetap dibayar semuanya). Dan sampai saat ini, kalau dari materi public expose perusahaan, juga belum ada katakanlah rencana untuk ekspansi penambahan kapasitas produksi atau semacamnya. Kemungkinan, AISA baru akan fokus ke operasional dan pengembangan usaha ketika nanti perusahaan sudah dipegang sepenuhnya oleh pemilik baru, dalam hal ini FKS Group, yang pada Agustus 2019 lalu sudah menyetor modal Rp329 milyar untuk mengambil 32.8% saham perusahaan, dan akan menyetor modal lagi dalam waktu dekat (tunggu RUPS tanggal 30 September ini), sehingga nantinya mereka jadi pemegang saham mayoritas.

Ekuitas AISA = Defisiensi Modal?

Tapi jika AISA masih terus merugi sejak tahun 2017 lalu (sampai Kuartal I 2020, AISA juga masih rugi, tapi perusahaan dapet duit Rp27 milyar dari pelepasan salah satu anak usahanya, sehingga jadinya perusahaan membukukan laba bersih Rp3 milyar), maka bagaimana mungkin defisiensi modalnya berkurang dari Rp3.3 trilyun di tahun 2017, menjadi tinggal Rp1.3 trilyun per Q1 2020? Bukankah itu artinya perusahaan membukukan laba total Rp2 trilyun sekian antara tahun 2018 sampai awal tahun 2020 ini? Dan memang pada tahun 2019 kemarin, AISA membukukan laba bersih komprehensif sampai Rp1.6 trilyun. Jadi dari mana asalnya laba tersebut?

Nah, dalam hal ini kita perlu mengulik lagi laporan keuangan (LK) AISA untuk tahun 2017. Jadi ceritanya, ketika AISA masih dikuasai oleh owner yang lama, yakni Stefanus Joko Mogoginta, maka AISA ketika itu sudah melaporkan beban penyisihan penurunan nilai piutang dll, yang pada akhirnya membuat AISA membukukan rugi bersih Rp552 milyar untuk tahun 2017 tersebut. Namun di tangan manajemen yang baru, dimana LK AISA untuk tahun 2017 disajikan ulang, maka dilakukan tindakan ekstrim dimana aset piutang dari pihak-pihak berelasi, termasuk piutang senilai Rp588 milyar dari PT JOM Prawarsa, yang memang belum diterima oleh AISA setelah mereka dulu menjual PT Golden Plantation, Tbk (GOLL) ke PT JOM, itu semuanya dihapus/dianggap nilainya nol. Termasuk aset investasi AISA senilai Rp893 milyar di salah satu anak usahanya yang bergerak di bidang perdagangan beras, yakni PT Dunia Pangan, itu juga dihapus/dianggap nilainya menjadi nol setelah PT Dunia Pangan itu sendiri berisiko tinggi untuk pailit, dalam rangka pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN).

Pada tahun 2017 dan 2018, manajemen secara berturut-turut menghapus 'piutang pihak berelasi' senilai masing-masing Rp4.3 dan 1.9 trilyun, menjadi nol.


Jadi dalam hal ini, manajemen baru di AISA secara ultra-konservatif menganggap bahwa kesemua piutang diatas tidak bisa dibayar oleh pihak debitur, dan demikian pula investasinya di PT Dunia Pangan dianggap habis sama sekali. Analoginya seperti kalau anda pegang saham AISA ini sejak tahun 2017 – 2018 lalu, yakni sebelum sahamnya di suspen di harga 168. Maka, meskipun di rekening anda di sekuritas masih tampak bahwa anda memegang saham AISA senilai sekian Rupiah, tapi dengan mempertimbangkan bahwa saham AISA tersebut tidak bisa dijual, maka sebenarnya nilainya adalah nol. Dan memang itulah yang dilakukan oleh manajemen AISA yang baru, dimana kesemua piutang perusahaan dari pihak berelasi diasumsikan tidak bisa ditagih, sehingga nilainya adalah nol. Alhasil setelah LK-nya disajikan ulang, AISA membukukan rugi bersih Rp5.3 trilyun, dan demikian pula ekuitasnya menjadi negatif Rp3.3 trilyun, pada tahun 2017.
 

Tapi balik lagi ke jika anda pegang saham AISA: Jika sahamnya masih disuspen, maka saya memang tidak bisa jual AISA, sehingga nilai saham saya bisa dikatakan nol. Tapi jika nanti suspensinya dicabut, maka saya kembali berpeluang untuk menjualnya bukan? Meski mungkin pada harga yang jauh lebih rendah dibanding harganya ketika dulu AISA ini disuspen, yakni 168. Tapi intinya, jika nanti saya bisa menjual saham AISA, maka saya akan memperoleh sejumlah uang. Sehingga nilai investasi saya yang tadinya habis sama sekali, itu akan pulih sebagian.

Nah, jadi memang persis itulah yang dialami oleh manajemen AISA itu sendiri: Sepanjang tahun 2019, setelah melewati proses panjang restrukturisasi dll, maka dari berbagai piutang yang dihapuskan diatas, sebagian diantaranya berhasil di-recover/dipulihkan, sehingga perusahaan akhirnya membukukan laba Rp1.9 trilyun, dan defisiensi modalnya otomatis berkurang. Namun perlu dicatat bahwa proses pemulihan aset-aset piutang ini, termasuk juga restrukturisasi utang-utang perusahaan, sampai hari ini masih terus dikerjakan. Sehingga, ada kemungkinan kedepannya akan ada lagi piutang yang dipulihkan/berhasil ditagih dari pihak debiturnya.

Jadi dengan kata lain, ketika AISA melaporkan defisiensi modal Rp1.3 trilyun pada Q1 2020, maka itu belum tentu angka yang sesungguhnya, karena masih bisa berubah signifikan di masa yang akan datang/angkanya bisa menjadi positif kembali, seiring dengan proses penyehatan perusahaan. Kemungkinan hal ini pula yang menjadi salah satu pertimbangan, kenapa nilai wajar dari 100% saham AISA dianggap mencapai Rp559 milyar, alias Rp176 per saham (berdasarkan jumlah saham 3.2 milyar lembar, yakni sebelum dilakukan setoran modal oleh FKS Group), oleh Kantor Jasa Penilai Publik, Suwendho Rinaldy & Rekan.

Meski demikian, faktanya cukup jelas bahwa ekuitas AISA sampai hari ini masih negatif, dan tentunya juga tidak ada jaminan bahwa upaya manajemen untuk memulihkan piutang perusahaan akan berjalan lancar. Selain itu, selama manajemen masih fokus ke pemulihan piutang dll, maka usaha jualan mi kering dll yang masih dipegang mungkin masih akan terus merugi, karena memang hanya menjalankan usaha yang ada saja. Dalam hal inilah, keberadaan FKS Group menjadi penting. Karena sebagai grup usaha yang memang bergerak di bidang pangan (FKS Group adalah pemilik dari banyak perusahaan pangan, termasuk PT FKS Multiagro, Tbk (FISH), sebuah perusahaan perdagangan kacang kedelai, jagung, dan tepung ikan), maka selain menyetor tambahan modal, FKS Group juga bisa menempatkan personelnya di dewan komisaris atau direksi AISA, untuk membantu mengelola usaha pangan milik perusahaan. Dan memang per hari ini, posisi direktur utama di AISA ditempati oleh Lim Aun Seng, yang sebelumnya menjabat sebagai direktur utama di FISH.

Prospek Jangka Panjang AISA

Sehingga, dengan asumsi proses penyehatan perusahaan bisa selesai sepenuhnya di tahun 2020 ini, termasuk proses penyetoran modal baru oleh FKS Group juga berjalan lancar, maka mulai tahun 2021 nanti, AISA akan bisa kembali fokus untuk mengembangkan usahanya, dan kali ini dengan cara-cara yang diharapkan akan lebih sesuai dengan prinsip good corporate governance, karena pemiliknya sama sekali berbeda dengan yang dulu. Sebab kalau kita lihat contoh FISH, maka kinerjanya selama ini juga cukup baik dengan ROE 10 – 15% per tahun, rutin bayar dividen, dan sahamnya terus naik dalam jangka panjang, dari 650 di tahun 2010 lalu, hingga sempat tembus 4,000 sebelum terjadi pandemi, dan sekarang stabil di 2,800 – 3,000.

Okay Pak Teguh, lalu bagaimana dengan sahamnya? Nah, karena per Q1 2020 ini, 1. Ekuitas AISA masih negatif, 2. Labanya secara operasional juga masih rugi, 3. Proses penyehatan perusahaan masih berjalan, termasuk utang jangka pendeknya juga masih lebih besar dibanding aset lancarnya, dan 4. Perusahaan sampai sekarang belum merilis LK untuk Q2 2020. Maka, kalau kita juga ambil sikap ultra-konservatif dengan menganggap bahwa nilai saham perusahaan memang masih nol, dan kesemua asumsi positif diatas baru sebatas asumsi yang belum tentu akan terealisasi, maka kemungkinan saham AISA di pasar masih akan lanjut turun, kecuali sekali lagi, jika nanti right issue-nya dilakukan pada harga atas, katakanlah Rp210 per saham (karena kemarin ketika FKS Group setor modal, juga di harga segitu). Meski demikian, pasca right issue-nya nanti, maka investor akan kembali melihat fundamental perusahaan. Dan kalau AISA masih terus membukukan rugi operasional sampai akhir tahun 2020 ini, maka mau tidak mau, sahamnya akan turun lagi. Secara amannya, kita baru bisa menilai progress pemulihan perusahaan di tahun 2021 nanti, dimana harusnya ketika itu manajemen juga sudah mulai fokus lagi ke operasional usahanya, dan tidak lagi melulu mengurus piutang-piutangnya yang masih macet.

Sehingga, jika anda belum pegang maka sebaiknya wait n see, minimal sampai perusahaan menggelar RUPS, 30 September nanti. Sedangkan jika anda sejak awal sudah pegang sahamnya, maka karena sudah sangat terlambat juga kalau mau cut loss sekarang, sebaiknya hold saja dulu, dan tunggu kesempatan untuk average down. Karena jika kita lihat skenario terburuknya, dimana AISA turun sampai gocap (50) dan mati lagi (bukan karena disuspen, tapi karena gak bisa dijual kecuali di pasar nego), dibanding skenario terbaiknya dimana AISA eventually akan naik dan bergerak stabil di 170 – 200 (ini kalau kita pakai ‘harga wajar’ versi Kantor Jasa Penilai diatas), dan bisa naik lebih tinggi lagi jika perusahaan di masa depan sudah sehat sama sekali, termasuk kembali membukukan laba bersih, maka penulis kira kita bisa coba fokus ke skenario terbaiknya tersebut, ketimbang give up sama sekali. Dalam hal ini penulis juga harus katakan bahwa AISA sangat berbeda dengan katakanlah Hanson International (MYRX) yang kemarin pailit, yang selama beberapa tahun terakhir ini sengaja right issue, transaksi repo dll untuk meraup dana sebesar-besarnya dari publik, termasuk dari Jiwasraya, lalu setelah owner-nya menjadi kaya raya maka ya sudah, perusahaannya dibangkrutkan saja (pailit itu sebenarnya exit strategy dari owner MYRX itu sendiri. Nanti deh, kita coba bahas lebih lengkap setelah ini). Dalam kasus AISA ini, bisa dibilang owner lamanya kelewat greedy saja, tapi mereka gak ada itu goreng-goreng saham. Dan kalaupun kita anggap bahwa pemilik lama AISA sama nggak benernya dengan pemilik MYRX, maka kabar baik sodara-sodara, sekarang AISA sudah tidak dipegang oleh mereka lagi, melainkan dipegang oleh FKS Group.

Anyway, enam bulan dari sekarang kita akan update lagi analisa AISA ini, dan mudah-mudahan ketika itu kondisi perusahaan sudah benar-benar sehat sama sekali, sehingga saya juga bisa ikut beli lagi sahamnya.

Merasa artikel ini bermanfaat? Silahkan share di Facebook/Twitter dengan klik tombol ‘berbagi’ dibawah ini.

***

Ebook Investment Planning yang berisi kumpulan 30 analisis saham pilihan edisi Kuartal II 2020 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, tersedia diskon khusus selama IHSG masih dibawah 5,500.

Video seminar dengan tema ‘Berburu Saham Mutiara Terpendam/Multibagger’, bisa diperoleh disini.

LihatTutupKomentar